Anak-anak
suka sekali menonton teve. Memang, teve bermanfaat buat anak. Tapi jika
tidak dibatasi dan diawasi, justru berbahaya. "Ayo, makan dulu! Dari
tadi, kok, di depan teve terus." Kalimat seperti ini, pasti pernah
terlontar dari orangtua kepada anaknya. Terutama
anak usia prasekolah, yang menurut penelitian memang menunjukkan minat
lebih besar pada teve ketimbang anak usia sekolah. Sebabnya? Antara
lain, anak balita cenderung terbatas teman bermainnya, masih lebih
banyak tinggal di rumah, dan belum mampu bersikap
kritis mengenai segala sesuatu yang dilihatnya di layar kaca. Tapi
kebiasaan juga pegang peranan dalam hal ini. Banyak anak sudah
dibiasakan nonton TV sejak masih bayi.
Ada
orangtua menjadikan TV sebagai babysitter karena tak mau repot. Biar
anaknya anteng, si kecil didudukkan di depan teve. "Bahkan ada yang
untuk makan, harus sambil nonton TV. Kalau tidak, anaknya tak mau
makan," kata psikolog Hera L. Mikarsa. Jelas, si kecil tak
begitu saja tertarik pada TV jika Anda tak pernah memperkenalkan ia
pada TV. Dan ia tak akan pernah kecanduan nonton TV jika Anda tak
membiarkan ia nonton kapan saja sesuka hatinya tanpa ada batas. Bukan
berarti si kecil dilarang sama sekali nongkrong di muka layar kaca.
TV, sarana belajar perilaku sosial
Bagaimanapun,
TV merupakan salah satu media belajar bagi anak dan bisa memberi
pengaruh positif terhadap tumbuh kembangnya. Yang penting, mencegahnya
agar tak sampai kecanduan nonton TV. Ingatlah, anak usia ini sedang
dalam tahap mengembangkan perilaku sosial. Ia harus mendapat banyak
kesempatan bermain dengan teman-temannya. Karena itu, tegas Hera,
jangan jadikan TV sebagai pengganti bentuk bermain. "Nonton TV itu,
kan, cenderung pasif. Tak ada interaksi dua arah. Beda jika ia main
dengan teman-temannya. Ia akan aktif, entah fisiknya, komunikasi, atau
sosial. Jadi, ada timbal-balik, belajar saling memberi," jelas Ketua
Program Profesi pada Fakultas Psikologi UI ini.
Selain
itu, anak usia ini sedang kuat-kuatnya meniru, entah perilaku atau
omongan. Apa yang ia dengar dan lihat, ia ucapkan dan lakukan tanpa ia
mengerti. Sering, kan, kita melihat serta mendengar, betapa fasihnya
(meski masih cadel) si kecil menirukan iklan atau nyanyian yang
dilihatnya di teve? CUKUP 40-45 MENIT Untuk mengurangi dampak negatif
teve, Hera menganjurkan, batasi waktu nonton TV, sekitar 40-45 menit
bagi anak usia ini. Hera juga menyarankan, sebagaimana dianjurkan
banyak pakar, dampingi anak saat nonton TV dan pilihkan program-program
yang layak untuk ia tonton. "Anda tak bisa menjadikan TV sebagai
baby-sitter jika Anda mau mendidik anak menjadi pemirsa yang kritis,"
tukas Hera. Apa juga, TV hanyalah sebuah benda mati.
Perlu Pendampingan dan Pengawasan
Anda tak dapat menyalahkan TV jika anak lebih suka duduk berjam-jam di
depan TV ketimbang melakukan aktivitas bermain lainnya atau ia jadi
suka berkelahi gara-gara sering menyaksikan adegan kekerasan di TV.
Seberapa besar pengaruh TV dan apakah pengaruhnya baik atau buruk
terhadap anak Anda, menurut Elizabeth B. Hurlock, pakar psikologi
perkembangan, ditentukan oleh jumlah bimbingan dan pengawasan terhadap
anak yang menonton TV. Jika Anda menyediakan waktu untuk menafsirkan
apa yang dilihat anak di layar TV, ia akan mengerti dan menafsirkan
apa yang dilihatnya dengan benar. Selanjutnya, dengan bimbingan dan
pengawasan atas program yang akan ditontonnya, ia dapat mempelajari
pola perilaku dan nilai yang sehat yang akan membimbing ke arah
sosialisasi yang baik dan tidak ke nilai serta pola perilaku yang tak
sehat.
Kenapa
ia harus didampingi? Kemampuan berpikir anak masih terbatas. Ia akan
mengalami kesulitan mengikuti alur cerita karena keterbatasannya
membedakan isi yang penting dan pokok dengan isi insidental yang
bersinggungan dengan pokok utama. Sebuah isi insidental (Aldo yang
gemuk jatuh tertelungkup) bisa tampak sama pentingnya dengan tema utama
(Aldo dan kelompoknya hendak membantu seorang anak perempuan yang
sedih karena orangtuanya bertengkar).
Ia
pun mengalami kesulitan untuk memadukan unsur-unsur cerita yang
berbeda yang terjadi pada waktu berlainan. Ia mungkin tak mampu
menghubungkan satu adegan yang menggambarkan seorang pria bertopeng
yang tengah merampok bank dengan adegan berikutnya setengah jam
kemudian yang menggambarkan seorang pria ditangkap dan dipenjarakan.
Akhirnya,
kesimpulan seorang ahli berikut ini patut Anda simak. "Jika Anda
menggunakan TV sebagai penjaga anak sehingga mengabaikan hubungannya
dengan orang lain, jelas Anda lalai. Jika Anda tak memperkenalkan buku
kepada anak-anak hanya karena adanya TV, maka Anda bertindak ceroboh.
Jika Anda tak membantu anak untuk membangun hubungan yang baik dengan
teman sebayanya hanya karena TV 'menjaga mereka di rumah', maka Anda
benar-benar bersalah terhadap mereka."
Apa Yang Anak Serap Dari TV?
Jawabannya, banyak sekali. Semua program TV dan siaran iklan yang
menyertainya, menyampaikan pesan yang berbeda-beda dan mengajarkan hal
yang lain pula. Satu hal yang dicemaskan banyak orangtua ialah anak
belajar kekerasan dari TV. Ini bisa dipahami. Sebab, tak sedikit adegan
kekerasan muncul di layar TV, mulai dari pertengkaran mulut sampai
perkelahian dan pembunuhan. Bukan cuma dalam program-program tayangan
dewasa, tapi juga anak-anak. Anda tak dapat menghindari ini, tapi bisa
mencegah pengaruh buruknya. Jelaskan padanya, orang-orang yang ia
lihat di TV adalah aktor dan mereka melakukan itu tidak dengan
sungguh-sungguh.
Atau,
hapuskan semua program yang lebih banyak mengeksploitir adegan
kekerasan dari daftar program TV yang sudah Anda pilih untuk anak.
Jangan pula izinkan si kecil menonton program untuk dewasa. Pelajaran
lain dari TV yang perlu diwaspadai ialah stereotipe sosial
tentang wanita, pria, minoritas, orang lanjut usia, dan banyak kelompok
lain, termasuk anak-anak. Stereotipe ini kadang dilebih-lebihkan.
Misalnya, pria selalu digambarkan jadi pemimpin dalam mengatasi keadaan
sementara yang wanita tetap pasif atau tak berdaya. Anak-anak belajar
dari penggambaran ini terutama bila mereka hanya mempunyai sedikit
kontak dengan kelompok yang digambarkan. Sebagaimana adegan kekerasan,
Anda pun tak dapat menghindari adegan-adegan yang menggambarkan
stereotipe sosial ini. Nah, berilah gambaran yang tepat pada anak
tentang hal yang sebenarnya berlaku di masyarakat. Bukan cuma lewat
kata-kata tapi juga harus diperkuat oleh perilaku Anda sehari-hari.
Bagaimana
Anda sehari-hari bersikap terhadap anak Anda, misalnya, merupakan
contoh bagaimana seharusnya orang dewasa memperlakukan seorang anak.
Atau, bagaimana ayah memperlakukan ibu dan bagaimana ibu memperlakukan
ayah, akan memberikan gambaran pada anak tentang bagaimana seharusnya
seorang pria memperlakukan wanita dan sebaliknya. Ingatlah, TV akan
memberikan pengaruh yang nyata pada anak, antara lain tergantung dari
seberapa banyak anak dapat mengingat hal-hal yang ia tonton dan
seberapa baik pemahamannya terhadap apa yang ia tonton. Jika ia
menafsirkan kekerasan atau stereotipe sosial di TV sebagai pola
perilaku yang direstui masyarakat dan model yang benar untuk ditiru,
maka pengaruhnya akan sangat berbeda ketimbang bila ia menafsirkannya
sebagai pola perilaku yang tak direstui dalam masyarakat.
Sumber: e-SmartSchool