Suku, atau matriclan, ialah unit utama
dari struktur sosial Minangkabau dan seseorang tidak dapat dipandang
sebagai orang Minangkabau kalau dia tidak mempunyai suku. Suku sifatnya
exogamis, kecuali bila tidak dapat diselusuri lagi hubungan keluarga
antara dua buah suku yang senama tetapi terdapat di kampung yang
berlainan. Oleh karena orang dari suku yang sama biasanya menempati
lokasi yang sama, suku bisa berarti genealogis maupun territorial,
sedangkan kampuang tanpa dikaitkan ke salah satu suku tertentu hanya
mengandung arti territorial semata-mata.
Tiap
suku minang biasanya terdiri dari beberapa paruik dan dikepalai oleh
kapalo paruik atau tungganai. Paruik dapat dibagi lagi ke dalam jurai
dan jurai terbagi pula ke dalam samande (artinya "satu ibu"). Cara
pembagian suku di Minangkabau seperti demikian bisa berbeda dari satu
daerah ke daerah yang lain. Jurai adalah istilah yang kabur yang mungkin
menunjukkan persamaan consanguinealitas saja atau pertalian kelompok di
bawah atau di atas tingkatan paruik. Samande, sebaliknya, sukar
dipandang sebagai unit yang berdiri sendiri oleh karena dua atau tiga
samande bisa sama mendiami rumah yang satu dan sama memiliki harta benda
tidak bergerak lainnya; sedangkan segala hal-ihwal yang penting dalam
lingkaran hidup (life cycle) tidak dapat diselesaikan oleh
anggota-anggota dari samande yang sama (yang biasanya berpusat
sekeliling seorang nenek) saja, tetapi harus disampaikan kepada paruik.
Anggota
dari paruik yang sama biasanya memiliki harta bersama (harato pusako),
seperti tanah bersama, termasuk sawah-ladang, rumah gadang dan pandam
pekuburan bersama. Oleh karena 'paruik' berkembang, ia mungkin memecah
diri menjadi dua paruik atau lebih, sekalipun masih dalam suku yang
satu. Dan dengan berkembangnya suku ia mungkin pula terbagi ke dalam dua
atau lebih suku baru yang bertalian.
Dalam
sistem keturunan matrilineal/matriahat di Minangkabau ini, ayah
bukanlah anggota dari garis keturunan anak-anaknya. Dia dipandang tamu
dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga, yang tujuannya terutama
untuk memberi keturunan. Dia disebut samando atau urang samando.
Tempatnya yang sah adalah dalam garis keturunan ibunya di mana dia
berfungsi sebagai anggota keluarga laki-laki dalam garis-keturunan itu.
Secara tradisi, setidak-tidaknya, tanggung jawabnya berada di situ. Dia
adalah wali dari garis-keturunannya dan pelindung atas harta benda garis
keturunan itu sekalipun dia harus menahan dirinya dari menikmati hasil
tanah kaumnya oleh karena dia tidak dapat menuntut bagian apa-apa untuk
dirinya. Tidak pula dia diberi tempat di rumah orangtuanya (garis
ibu/matrilineal) oleb karena semua bilik hanya diperuntukkan bagi
anggota keluarga yang perempuan, yakni untuk menerima suami-suami mereka
di malam hari. Posisi kaum laki-laki yang goyah ini yang memotivasi
lelaki Minang untuk merantau.
Orang
laki-laki biasanya mencari nafkah dengan cara pergi ke pasar menjadi
pedagang, atau bekerja sebagai tukang kayu, tukang bajak di sawah,
penjahit, pemilik kedai, pegawai kantor, dan sebagainya. Dia bekerja di
sawah ladang milik garis-keturunannya atau milik garis-keturunan
isterinya hanyalah sambil lalu, jika tidak ada yang lain yang akan
dikerjakannya.
Kalau
dia memutuskan hendak mengolah tanah dari garis keturunan ibunya untuk
mendapatkan sebagian hasilnya, dia biasanya berbuat begitu sebagai
seorang penyedua (pekerja bagi hasil), di mana dia menerima hanya
sebagian dari hasil, sedangkan bagian yang lain diperuntukkan kepada
anggota garis-keturunan wanita yang sebenarnya menjadi pemilik dari
tanah tersebut.
Perkawinan,
oleh karena itu, tidaklah menciptakan keluarga inti (nuclear family)
yang baru, sebab suami atau isteri masing-masingnya tetap menjadi
anggota dari garis keturunan mereka masing-masing. Sebab itu pengertian
tentang keluarga inti yang terdiri dari ibu, ayah dan anak-anak sebagai
suatu unit tersendiri tidak terdapat dalam struktur sosial Minangkabau
oleh karena dia selalu ternaung oleh sistem garis keturunan ibu yang
lebih kuat. Sebagai akibatnya, anak-anak dihitung sebagai anggota garis
keturunan ibu dan selalu lebih banyak melekatkan diri kepada sang ibu
serta anggota-anggota lainnya dalam garis keturunan itu. Ikatan yang
lemah terhadap si ayah ini bahkan lebih jelas terlihat apabila si lelaki
berpoligami, di mana dia bergilir mengunjungi istrinya, dan lebih
jarang bertemu dengan anak-anaknya. Ikatan itu tambah berkurang lagi
bila perceraian terjadi, dalam keadaan mana dia jarang sekali bertemu
dengan anak-anaknya.
Reference:
Dr. Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau, Gadjah Mada University Press, 1984
Sumber: Pelaminan Minang Buchyar